Monday, April 14, 2008

Amat Sangat Tidak Adil

Hidup ini kadang tidak adil :-(

Kenapa tiba-tiba di senin pagi yang cerah ini aku merasa hidup ini tidak adil?

Karena banyak sekali orang-orang mengeksploitasi orang lain untuk tujuannya semata. Apalagi di dunia politik di Indonesia yang dilakoni para politisi yang bibirnya manis ketika dia berkampanye... [wetz sejak kapan, daku menjadi pengamat politik?]

Sejak aku merasa banyak orang memberikan ”hatinya” kepada kelancaran kehidupan bernegara, tetapi tidak ditimbal-baliki oleh para penyelenggara kehidupan bernegara ini.


Bapakku seorang marhaenis sejati, sampai-sampai salah seorang kakaku diberi nama Junica Marhaeni dan satu-satunya orang yang memanggil kakaku ”Eni” [singkatan dari Marhaeni] adalah bapakku sedangkan yang lain memanggil dengan panggilan popularnya. Bapakku dalam sikap hidup dan pengajarannya kepada kami selalu mengajarkan loyalitas dan pengabdian kepada bangsa dan negara tanpa mengharapkan balasan. Pilihan ekstrim dari dia adalah tetap menjadi non-Golkar pada era orba padahal Bapakku seorang PNS. Namun dia sangat menghormati ibuku yang juga PNS berkampanye dari desa ke desa untuk Golkar. Harga yang harus bapak bayar untuk pilihannya adalah tetap menjadi KaKandep (Kepala Kantor Departemen) pada Dinas Pendidikan dan Kebudayaan, sebuah posisi yang terlalu rendah untuk orang sepotensial dia namun cukup spekatakuler untuk ukuran seorang pembangkang yang tidak mau mengkampanyekan partai pemerintah.


Dulu pada masa mudaku (cie... ) ketika aku memandang hidup ini sebagai hitam dan putih sebagai untung dan rugi, sering sekali aku berdebat dengan bapakku untuk keteguhan nilai-nilainya pada sesuatu yang diyakininya, dan mungkin kakak-kakaku juga merasakannya.

Kemudian ketika abangku menjadi calon anggota legislatif dari PDIP, ayahku menerima partai PNI untuk berdiskusi yang membuat murka ibuku dan kami sekeluarga karena menurut kami, ayahku membelot dari anaknya sendiri. Dan saat itu dia menjawab, ”aku menjadi anggota partai bukan karena anakku jadi calon, tapi karena nilai-nilai yang diperjuangkan oleh partai itu. Lagi pula aku masih hanya berdiskusi saja melihat apakah yang di perjuangan oleh PNI baru ini. Hanya itu”

Kami terdiam, susah sekali menghormati pilihan dia sebagaimana dia menghormati pilihan kami.


Sekarang dia sudah 75 tahun, dalam diamnya dia tetap memikirkan sesuatu untuk negara ini. Hanya pemikiran kecil. Bukan sesuatu yang extravaganza, tetapi dilatabelakangi ketulusan dan berorientasi kepada kepentingan umum.

Kemarin dia meneleponku, bercerita bahwa pada Rabu 16 April 2008 besok pilkada di Sumut akan dilakukan. Dia meminta aku mendukung dalam doa, supaya yang menang adalah seorang yang peduli kepada masyarakat. Dia juga cerita senin cucunya yang kuliah di USU-Medan akan pulang kampung karena dia ikut memilih di kampung [kalau rakyat kecil saja harus mengeluarkan uang untuk SLJJ dan ongkos PP untuk cucu pulang kampung dalam rangka memilih kepala daerah, pernahkah para pemimpin terpilih itu peduli sedikit saja kepada ke orang-orang yang memilihnya?] hatiku miris versi one point zero.


Kemudian tak disangka dan tak diduga, minggu pagi kemarin, kakaku yang guru SMP dari bandung yang kelihatannya tidak terlalu peduli dengan hal-hal politik kirim sms ke aku dengan kata-kata: ”Halo saudara2ku tercinta mohon dukungan doa bagi masyarakat Jabar untuk Pak Agum jadi gubernur kami”

Aku menganalisa isi sms-nya. Saudara-saudaraku, berarti dia mengirimkan sms ini lebih ke satu orang. Dia minta doa untuk Pak Agum. Seandainya Pa Agum terpilih, pernahkah dia peduli dengan cara seperti kakaku kepada rakyat Jabar? [ternyata menurut quick count, pak Agum pada posisi kedua setelah Hade] Hatiku miris versi two point zero.


Kemudian pada saat kebaktian minggu di gereja, pak Pendeta yang nota bene adalah kakak iparku sendiri pada doa setelah khotbah mendoakan pilkada yang akan dilaksanakan di daerah-daerah secara khusus untu Jabar dan Sumut. Dia tidak mendoakan Pak Agum secara khusus tapi supaya yang terpilih adalah orang yang peduli pada rakyat. Untuk ketiga kalinya hatiku miris versi three point zero.


Tapi seperti sering dikatakan Bapakku, yang dikutip dari perkataannya [JFK?] “Jangan tanya apa yang dilakukan negara untukmu, tapi tanyakanlah dirimu apa yang sudah kamu lakukan untuk negaramu.”

Well, hatiku pun tersenyum :-)

1 comment:

Anonymous said...

Untuk teman yg kirim comment ke email tp ga mau di-publish :P

hatiku miris versi two point zero bukan karena pak Agum kalah yak hehehe....

Peace....