Setelah mengikuti kursus bahasa Jerman bersama teman-teman dari berbagai negara di Jerman ini, banyak kejadian yang menggelitik bagiku. Dimulai dari seorang teman Brazil yang selalu membandingkan bahasa “Portugisnya” dgn bahasa Jerman dengan kata-kata…”Bei Uns” (yang terjemahan bebasnya berarti: bagi kami-Red), teman dari Cheko yang bunyi “e” nya selalu “e” pepet padahal harusnya “e” keras dan bunyi “u” nya selalu dimulai dengan “i” sehingga menghasilkan bunyi “iu”. Ada pula teman Irak yang lancar ngomong tapi gramatikalnya salah dan anehnya kami-kami yang non Jerman ini pada mengerti hehehe….. atau seorang temen yang selalu bertanya sesuatu yang sewajarnya tidak perlu ditanya dengan kata pengantar “ Ich habe ein blodes Frage” (Aku punya pertanyaan bodoh-Red) dan spontan kujawab dalam hati “Kalau begitu hentikan pertanyaan bodohmu.”
Aku sendiri meski bukan tergolong yang paling pintar tapi lumayan tidak menyusahkan guru dan peserta yang lain. Aku beruntung sebagai orang Indonesia yang cara membaca kata hampir sama dengan cara orang Jerman membaca dan beruntung pula sebagai orang batak yang bunyi “e” nya nyaris sama dengan “e” nya jerman. Dari berbagai pertanyaan yang sering kudengar ternyata banyak sekali peserta yang mempertanyakan mengapa bahasa itu terbentuk menjadi seperti itu, terbukti seringnya mereka memakai kata “Warum” (mengapa, why-Red) untuk berbagai kasus pertanyaan warum ini masih bisa ditoleransi dengan jawaban yang masuk akal tetapi ketika akhirnya pertanyaan warum ini semakin diteruskan akan sampai pada titik yang mempertanyakan mengapa bahasa itu memiliki banyak kasus, dan mengapa begitu. Dan akhirnya hanya bisa dijawab dengan “itulah bahasa Jerman mau bilang apa lagi??? Kalau mau mengerti bahasa Jerman ikutilah Gramatikalnya meskipun susah setengah mampus.
Aku berpikir kalau mau bisa lulus DSH maka aku harus menerima saja gramatikalnya, tidak usah mempertanyakan mengapa harus ada kasus Dativ, Akusativ, Genetiv, Nominativ. Mengapa harus ada Reflexive Pronomen dll.
Ah ternyata belajar bahasa ini juga seperti belajar beriman :-) Untuk menjadi selamat hanya perlu menerima ajarannya saja, berlatih dan menggumuli bahasa itu dan tidak menyimpang dari aturan-aturan yang ada niscaya akan selamat.
Aku sendiri meski bukan tergolong yang paling pintar tapi lumayan tidak menyusahkan guru dan peserta yang lain. Aku beruntung sebagai orang Indonesia yang cara membaca kata hampir sama dengan cara orang Jerman membaca dan beruntung pula sebagai orang batak yang bunyi “e” nya nyaris sama dengan “e” nya jerman. Dari berbagai pertanyaan yang sering kudengar ternyata banyak sekali peserta yang mempertanyakan mengapa bahasa itu terbentuk menjadi seperti itu, terbukti seringnya mereka memakai kata “Warum” (mengapa, why-Red) untuk berbagai kasus pertanyaan warum ini masih bisa ditoleransi dengan jawaban yang masuk akal tetapi ketika akhirnya pertanyaan warum ini semakin diteruskan akan sampai pada titik yang mempertanyakan mengapa bahasa itu memiliki banyak kasus, dan mengapa begitu. Dan akhirnya hanya bisa dijawab dengan “itulah bahasa Jerman mau bilang apa lagi??? Kalau mau mengerti bahasa Jerman ikutilah Gramatikalnya meskipun susah setengah mampus.
Aku berpikir kalau mau bisa lulus DSH maka aku harus menerima saja gramatikalnya, tidak usah mempertanyakan mengapa harus ada kasus Dativ, Akusativ, Genetiv, Nominativ. Mengapa harus ada Reflexive Pronomen dll.
Ah ternyata belajar bahasa ini juga seperti belajar beriman :-) Untuk menjadi selamat hanya perlu menerima ajarannya saja, berlatih dan menggumuli bahasa itu dan tidak menyimpang dari aturan-aturan yang ada niscaya akan selamat.
No comments:
Post a Comment