Dulu, ketika
saya mendengar seseorang berkata bahwa dia "terpaksa" mengambil
sebuah keputusan tertentu baik di dunia nyata atau ketika membaca cerita di
buku atau saat menonton sebuah film, maka saya akan dengan sinis berkata, kalau
"terpaksa," lalu mengapa kamu mengambil keputusan tersebut?
Menurut
saya, kalau pengambilan keputusan berada ditangan seseorang maka harusnya
seseorang itu mampu membuat keputusan yg lain daripada mengambil sebuah keputusan
yg terpaksa harus dilakukannya.
Pemikiran ini mungkin berkembang karena kasus-kasus yg saya hadapi selalu berhubungan dgn kondisi, dimana si pengambil keputusan
berkata "terpaksa" mengambil keputusan tertentu dengan suara yg
tegar, mimik muka yg keras dn nyaris tanpa emosi, Berhadapan dengan seorang yg
wajahnya memelas tak jarang menangis terisak-isak, tak berdaya, karena harapannya
dimusnahkan dan dia harus menerima keputusan yg diberikan si pemberi keputusan.
Sehingga ketika si pemberi keputusan berkata: "aku terpaksa melakukannya", maka
aku dgn spontan berkata (meski kadang2 hanya dlm hati karena aku biasanya
menghadapi kejadian seperti ini di film atau buku), kalau kamu si pembuat
keputusan mengapa kamu hrs memutuskan sesuatu yg terpaksa kamu lakukan?
Tidakkah kamu kasihan melihat orang di hadapanmu yg harapannya kamu pupuskan?
Yang mimpinya kamu padamkan? Kenapa kamu tdk mencari alternatif keputusan lain
yg tidak membuat dia menangis dan kamu pun tidak terpaksa melakukannya?
Sampai pada
hari ini aku berada pada sebuah kondisi real, dimana aku harus mengambil sebuah
keputusan. Keputusan yg terpaksa harus aku ambil.
Aku melihat dia menangis di
depanku, tersedu karna harapannya pupus karena keputusan yg kuambil. Dia
memohon dan aku dengan wajah datar menolak permohonannya. Dia menolak dan
meronta tdk setuju dengan keputusan yg kuambil dan dengan tatapan tajam aku
diam, dan diamku berarti memaksa dia harus menerima keputusanku.
Dia tak berdaya, dan aku tetap teguh pada
keputusanku.
Yang dia tidak tau, (yang dulu aku pun tidak tau) hatiku tersayat-sayat.
Betapa sesungguhnya...aku juga sangat tidak menginginkan semua ini
terjadi.
Tidak ada orang lain
yg memaksaku untuk mengambil keputusan ini.
Aku memiliki kemutlakan dalam
memutuskan, tetapi aku oleh diriku sendiri, dengan segala pertimbangan
spritual, emosional dan rasional terpaksa harus mengambil keputusan tersebut.
Aku
dipaksa oleh kebenaran.
Kebenaran yg tidak hanya mengoyak harapannya tetapi
juga mencabik perasaanku. Kebenaran yg tdk hanya membuatnya menangis tetapi juga
membuat jiwaku tersedu. Kebenaran yg tidak hanya membuat mimpinya sirna tetapi
juga membuatku merasa gagal.
Kebenaran yg mungkin membuatnya merasa bahwa hidupnya berakhir pada hari ini ketika aku membuat keputusan, tetapi membuatku yakin, keindahan masa depannya dimulai hari ini.
Semoga pemilik kehidupan memberkati langkahnya.