Dan hari ini,
sayapku seperti patah,
hatiku menangis,
jiwaku tersedu,
imanku diuji,
Bopas ponakanku tercinta, cucu tertua Bapakku dari anak laki-lakinya mengalami kecelakaan lalu lintas.
Bopas adalah pahompu panggoaran Bapak-Ibuku (cucu yang namanya disandangkan pada Bapak-Ibuku).
Pada acara adat terakhir Bapak, kepadanyalah diwariskan seluruh hak dan tanggung jawab Bapak.
Dia adalah generasi penerus Bapak, yang melanjutkan nama Bapak.
Hari ini dia di RS Elizabeth Medan, mengalami pendarahan otak ringan dan retak tulang menurut diagnosa Dr UGD, setelah mengalami kecelakaan mobil tadi malam.
Hatiku pedih sekali.
Remuk-redam rasanya,
Aku mempertanyakan banyak hal,
Aku bingung, bagaimana mungkin Tuhan melukai hatiku dengan cara yang menyakitkan?
Tapi aku tahu dan aku mengimani, Bahwa Tuhan adalah Tuhan yang baik.
Baik hari ini, baik di hari kemarin dan sampai selama-lamanya kebaikannya.
Dia adalah Tuhan yang selalu merancangkan rancangan damai sejahtera. Oleh karena itu, aku menggantungkan iman percayaku padaNya. Bahwa segala sesuatu yang terjadi dalam hidupku berada didalam rancangannya, dan tak satu hal pun dalam hidupku berlalu dari pandanganNya.
Hanya satu doaku pada Tuhan, semoga DIA memampukan kami semua menerima segala perkara dalam kehidupan kami sebagaimana telah Engkau rencanakan.
Bermurah hatilah kepada kami ya Tuhan, berikan kesembuhan kepada Bopas kekasih hati kami.
Ya Tuhan, janganlah menghukum kami dalam muraka-Mu,
Kasihanilah aku Tuhan, sebab aku merana;
sembuhkanlah Bopas Tuhan, sebab tulang-tulangku gemetar, dan jiwaku pun sangat terkejut;
tetapi Engkau Ya Tuhan,
Selamatkanlah kami oleh karena kasih setia-Mu.
Ampunilah dosa-dosa kami, dan Kasihanilah kami ya Allah Bapa, Anak dan Roh Kudus,
Amin...
Wednesday, June 17, 2009
Selamat Jalan Ayah...
Tanggal 29 Mei 2009 tepat pada hari Jumat, Bapakku St. A.B. Tambunan (Op. Bopas Doli) meninggal dalam damai sejahtera seperti yang diceritakan Ibuku kepada kami.
Dipagi hari itu, jam 5, ketika ibu bangun, dia melihat Bapak duduk di tempat tidur dengan sikap berdoa. Ketika ibuku menyapa untuk bertanya mau sarapan apa, Bapak Terjatuh kebelakang (ke tempat tidur) sehingga posisinya seperti tidur lagi. Lalu ibuku, berusaha mendudukannya lagi.
Setelah didudukan, Ibu pergi kedapur dan menyalakan kompor. Tetapi ketika Ibu kembali ke kamar, Bapak sudah jatuh lagi dan mengakhiri hidupnya.
Ibuku,...
dia sangat tegar dan kuat. Dia masih sempat kembali ke dapur dan mematikan kompor yang sudah dinyalakan, kemudian berdoa memohon kekuatan, dan kemudian membersihkan ayahku sendirian, memakaikan pakaian kesukaan ayahku, yaitu kemeja putih dari kakaku marturia, jas biru tua dari helanya (menantu) Pdt. S. Simanjuntak dan dasi motif batik yang dulu kubelikan dari Yogya. Pakaian tersebut adalah pakaian kebanggaan Bapakku, yang selalu dikenakan pada peristiwa-peristiwa penting dalam hidupnya. Dari wisuda anak-anak, hari Natal, pernikahan anak-anaknya pun setelan tersebut selalu menjadi pilihannya.
Pada pernikahanku pun Bapak ingin memakai setelan tersebut, namun ibuku membujuknya untuk memakai setelan baru yang sudah kusiapkan.
Setelah selesai membereskan Bapak, barulah ibuku menangis.
Ketika kami anak-anaknya hadir, Bapak seperti sedang tidur, hanya Bunga diatas jenazahnya yang membuatku tersadar bahwa dia sudah meninggal.
Bapakku yang tercinta, dia tidak meninggalkan firasat apapun pada semua kami anak cucunya, bahkan kepada kekasih hatinya sendiri yaitu ibuku.
Dia, menghadap Tuhannya dengan tulus dan iklas.
Tidak membebankan apapun kepada kami dan tidak menjanjikan apa-apa.
Bahkan ketika aku bercerita kepadanya bahwa kami sudah membeli rumah, dia tidak berjanji akan datang pada acara "marmasuk jabu" (memasuki rumah baru) kami.
Sesuatu yang membuatku saat itu sangat heran. Karena tidak biasanya Bapakku seperti itu. Dia selalu hadir dalam setiap peristiwa penting kehidupan kami anak-anaknya.
Dan biasanya 3 bulan sebelum peristiwa penting tersebut, pasti bapak akan menelepon setiap hari untuk memastikan kedatangannya. Tapi kali ini dia tidak berjanji apa-apa.
Bapakku, sepanjang pengenalanku padanya, tidak pernah mengecewakan kami anak-anaknya.
Kini dia telah pergi,
tidak ada lagi yang setiap hari meneleponku, dan pura-pura bertanya apakah tadi aku meneleponnya...
tidak ada lagi yang selalu gelisah menanti kedatangan kami,
tidak ada lagi yang menanyakan apa yang ingin kami makan, kalau kami sedang pulang kampung,
tidak ada lagi yang bersiap-siap ke gereja sejak jam 9 pagi, meskipun kebaktian baru mulai jam 11 siang,
tidak ada lagi yang memanggil kami putri-putrinya "ito"
tidak ada lagi orang yang sangat menjunjung tinggi kebenaran dan prinsip hidup,
tidak ada lagi senyumnya yang lembut,
tidak ada lagi perbincangan-perbincangan yang berisi dan membangun,
tidak ada lagi orang yang selalu rindu pada kami,
Namun,...
walaupun engkau telah pergi, kau selalu hidup dihati kami Bapakku tercinta.
Dipagi hari itu, jam 5, ketika ibu bangun, dia melihat Bapak duduk di tempat tidur dengan sikap berdoa. Ketika ibuku menyapa untuk bertanya mau sarapan apa, Bapak Terjatuh kebelakang (ke tempat tidur) sehingga posisinya seperti tidur lagi. Lalu ibuku, berusaha mendudukannya lagi.
Setelah didudukan, Ibu pergi kedapur dan menyalakan kompor. Tetapi ketika Ibu kembali ke kamar, Bapak sudah jatuh lagi dan mengakhiri hidupnya.
Ibuku,...
dia sangat tegar dan kuat. Dia masih sempat kembali ke dapur dan mematikan kompor yang sudah dinyalakan, kemudian berdoa memohon kekuatan, dan kemudian membersihkan ayahku sendirian, memakaikan pakaian kesukaan ayahku, yaitu kemeja putih dari kakaku marturia, jas biru tua dari helanya (menantu) Pdt. S. Simanjuntak dan dasi motif batik yang dulu kubelikan dari Yogya. Pakaian tersebut adalah pakaian kebanggaan Bapakku, yang selalu dikenakan pada peristiwa-peristiwa penting dalam hidupnya. Dari wisuda anak-anak, hari Natal, pernikahan anak-anaknya pun setelan tersebut selalu menjadi pilihannya.
Pada pernikahanku pun Bapak ingin memakai setelan tersebut, namun ibuku membujuknya untuk memakai setelan baru yang sudah kusiapkan.
Setelah selesai membereskan Bapak, barulah ibuku menangis.
Ketika kami anak-anaknya hadir, Bapak seperti sedang tidur, hanya Bunga diatas jenazahnya yang membuatku tersadar bahwa dia sudah meninggal.
Bapakku yang tercinta, dia tidak meninggalkan firasat apapun pada semua kami anak cucunya, bahkan kepada kekasih hatinya sendiri yaitu ibuku.
Dia, menghadap Tuhannya dengan tulus dan iklas.
Tidak membebankan apapun kepada kami dan tidak menjanjikan apa-apa.
Bahkan ketika aku bercerita kepadanya bahwa kami sudah membeli rumah, dia tidak berjanji akan datang pada acara "marmasuk jabu" (memasuki rumah baru) kami.
Sesuatu yang membuatku saat itu sangat heran. Karena tidak biasanya Bapakku seperti itu. Dia selalu hadir dalam setiap peristiwa penting kehidupan kami anak-anaknya.
Dan biasanya 3 bulan sebelum peristiwa penting tersebut, pasti bapak akan menelepon setiap hari untuk memastikan kedatangannya. Tapi kali ini dia tidak berjanji apa-apa.
Bapakku, sepanjang pengenalanku padanya, tidak pernah mengecewakan kami anak-anaknya.
Kini dia telah pergi,
tidak ada lagi yang setiap hari meneleponku, dan pura-pura bertanya apakah tadi aku meneleponnya...
tidak ada lagi yang selalu gelisah menanti kedatangan kami,
tidak ada lagi yang menanyakan apa yang ingin kami makan, kalau kami sedang pulang kampung,
tidak ada lagi yang bersiap-siap ke gereja sejak jam 9 pagi, meskipun kebaktian baru mulai jam 11 siang,
tidak ada lagi yang memanggil kami putri-putrinya "ito"
tidak ada lagi orang yang sangat menjunjung tinggi kebenaran dan prinsip hidup,
tidak ada lagi senyumnya yang lembut,
tidak ada lagi perbincangan-perbincangan yang berisi dan membangun,
tidak ada lagi orang yang selalu rindu pada kami,
Namun,...
walaupun engkau telah pergi, kau selalu hidup dihati kami Bapakku tercinta.
Subscribe to:
Posts (Atom)