Kemarin, bincang-bincang dengan seorang teman membuatku merasa terberkatinya aku memiliki suami yg mengikatku dalam pernikahan namun membebaskan aku mencapai beberapa hal sebagai individu.
Dipernikahanku yang masih tergolong baru (6 Desember 2013 nanti) baru akan genap 5 tahun, saya merasa bahwa aku tetap sebagai seorang individu yang memiliki kebebasan untuk mencapai apa yang menjadi mimpi-mimpi pribadiku khususnya terkait dengan pendidikanku dan juga karirku.
Sebagai seorang dosen, di Universitas Ciputra, dimana metode pembelajaran sangat project and experiential based learning, seorang dosen dituntut memiliki komitmen yang tinggi menjadi guru, konsultan, mentor dan sekaligus coach untuk mahasiswa. Tentu saja komitmen tersebut membutuhkan waktu yg tidak sedikit sehingga bayangan menjadi dosen yg datang ke kampus hanya untuk mengajar lalu pulang ke rumah tidak pernah terjadi dalam pengalamanku sebagai dosen di uni ini. Jam kantor formal jam 7.30 - 16.30, senin sampai jumat dan most of the time, aku pulang lebih dari jam seharusnya. Belum lagi ketika di rumah kadang-kadang masih dihubungi mahasiswa (tidak dengan datang ke rumah tentunya) untuk berdiskusi atau bertanya beberapa hal. Ditambah lagi, beberapa perjalanan ke luar kota atau luar negeri untuk menghadiri beberapa konferensi, seminar, workshop, meeting atau acara-acara lain yang menuntut kehadiranku sebagai dosen atau peneliti dan semakin intens karena pada saat ini aku sebagai ketua jurusan. Tentu saja, tanpa kerjasama yang sangat baik dari suami, aku tidak akan bisa menjalaninya dengan baik dan damai sejahtera.
Tuntutan untuk memberi waktu lebih dari seharusnya, perjalanan-perjalanan ke luar kota atau luar negeri bisa aku penuhi tanpa merasakan kontroversi hati dan otak (meminjam istilah Vicky) dengan dukungan dari suamiku. Dia tidak menunjukkan keberatan atau tekanan padaku kala aku diwajibkan untuk melakukan tugas-tugasku di kampus. Sebaliknya dia segera mencari solusi-solusi apa yang harus kami siapkan untuk dilakukan selama aku tidak di rumah. Betapa menyenangkan memiliki partner hidup yg suportif.
Demikian juga dengan tugas baruku sebagai mahasiswa S3 di Malaysia. Tentu saja, keputusan untuk kuliah ini aku pertimbangkan dan doakan dengan sungguh-sungguh. Menjadi Ibu 2 anak laki-laki di usia balita merupakan berkat yang harus dipertanggungjawabkan dengan sungguh-sungguh. Ketika tawaran kuliah lagi muncul, aku terlebih dahulu minta ijin dan berdiskusi dengan suamiku. Saat itu aku semakin sadar betapa terberkatinya aku memiliki dia sebagai suami. Bukannya menunjukkan fakta-fakta kerepotan-kerepotan yg akan muncul yang dia lakukan saat itu, justru menyajikan solusi-solusi terhadap permasalahan yang mungkin akan kami hadapi. Mulai dari mengatakan bahwa kami bisa minta bantuan kakak-kakakku (saat aku bilang siapa yg urus anak-anak saat aku harus ke Malay) sampai memberi dukungan dengan perkataan, "kamu pasti bisa kamu kan pintar" :D.
Justru aku saat itu yang mengalami kelabilan hati (kembali meminjam istilah Vicky). Meskipun kuliah S3 merupakan salah satu mimpi dalam hidupku, namun tanpa dorongan suami aku yakin aku tidak akan berani menjalaninya. Karena dukungannya, menjalani perkuliahan yang sangat berat, menjadi perjalanan yg menyenangkan karena at least aku tidak dibebani masalah rumah tangga yg aku pun sangat sadar sebenarnya itu adalah bebanku.
Tentu saja, banyak faktor yang menentukan sesuatu itu berhasil atau tidak, menarik atau tidak untuk dijalani. Kenyamananku dalam menjalani tugas-tugas dan peran-peranku juga dibantu oleh orang lain, seperti keluargaku yg siap sedia membantu kami kalau sedang dibutuhkan, atasan yang pengertian di kantor, teman kerja yang profesional dan tentu juga caraku merespon berbagai kejadian. Namun sebagai seorang istri, aku merasa betapa terberkatinya aku memiliki suami seperti suamiku ini.
Semoga Tuhan sang sutradara kehidupan, selalu memampukan kami menjalani berbagai peran kehidupan dengan penuh tanggung jawab dan ucapan syukur.